Kamis, 23 Mei 2013

It used to be called "Friendship"

Ada satu masa berharga di dalam hidup yang saya jalani. Dan sampai kapanpun, saya tidak akan pernah melupakan masa itu. Until the end of time.. Ini masa tentang waktu yang saya jalani bersama Erna..

Saya sudah lupa sejak kapan saya mengenal Erna. Mungkin kedua ibu kami yang mempertemukan kami. Yang saya ingat, saya mengenal dia sejak sebelum merasakan Taman Kanak-kanak. Saya hanya ingat dialah satu - satunya teman perempuan yang saya miliki kala itu.Sekiranya umur Erna dan saya hampir sama, mungkin lebih tua dia satu tahun.

Rumahnya tepat di depan rumah saya. Keluarganya tinggal di rumah kontrakan kecil yang berisi satu kamar tidur dan satu ruang tamu. Kamar mandi dan dapurnya terletak di luar menjadi satu fasilitas umum bagi beberapa penghuni kos. Bagaimanapun itu tak menjadikan saya enggan bertamu ke rumahnya. Malah sebaliknya, hampir setiap siang saya menghabiskan waktu menjadi anak kedua dari orang tua Erna.

Orang tua saya bekerja sebagai pegawai swasta. Ibu saya menjadi juru masak di salah satu katering terbesar di Surabaya. Tidak ada yang meragukan kemampuan memasak ibu saya. Ayah saya pekerja proyek instalasi listrik bandara, pelabuhan, pabrik dsb. Sama seperti ibu saya, tak ada yang meragukan hasil instalasi ayah saya. Sayangnya, saya lah yang sering meragukan kasih sayang mereka. Nenek adalah orang yang selalu ada untuk mengasuh saya, memberi apapun yang saya mau, memeluk saya ketika saya merasa sepi. Hmm.. ironis...

Masa itu adalah masa yang selalu saya ingat dalam hidup. Masa bersekolah TK. Belum genap 5 tahun ketika saya melarikan diri dari rumah. Diam - diam pergi ke sekolah TK dengan bersepatu tanpa membawa buku atau apapun. Saya selalu meminta ikut pergi ke sekolah bersama Erna. Orang tuanya tak pernah keberatan mengajak saya. Selama di sekolah ibunya memperhatikan saya juga.

Mungkin para guru itu tak percaya dengan saya. Saya dianggap masih terlalu kecil untuk memahami pelajaran mereka. Saya diberi bangku di pojok belakang kelas. Saya tak pernah menjadi siswa urutan pertama yang diberi mainan atau alat berhitung. Setelah semua siswa sudah selesai mencoba puzle, lego, mainan kayu-kayuan, barulah satu persatu alat - alat tersebut dipinjamkan ke saya.

Erna selalu membantu saya memainkan mereka. Dia selalu duduk satu meja dengan saya. Dia tak peduli meskipun harus duduk di belakang, jauh dari papan tulis. Kadang - kadang saya merasa lucu padanya. Padahal dia yang selalu mengajarkan pelajaran baru kepada saya namun seringkali dia malah tak tahu apa yang barusan dijelaskan oleh guru kami. Jika itu terjadi, giliran saya yang menjelaskan kepadanya.

Saya tak pernah mengerti bagaimana cara kerja otak saya. Saya bermain ketika para ibu guru kami, Bu Fat, Bu Mia & Bu Ina, menjelaskan sesuatu. Namun saya merasa mengerti saja tentang semua yang mereka jelaskan. Kadang saya merasa kasihan pada Erna. Dia selalu tekun belajar namun sering kali masih kebingungan untuk menulis atau mencocokkan warna. Saya selalu diam dan pura - pura belum mengerti saat dia mulai frustasi ketika dia mengira dia yang paling bodoh. Saat itu saya bilang padanya kalau saya juga tak mengerti. Dia selalu tersenyum lega mengetahui bahwa dia bukan orang paling bodoh sedunia. :) lucu sekali jika saya berfikir tentang hal itu sekarang, konyol.. bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi orang paling bodoh sedunia hanya karena dia kesulitan menulis atau tak hafal lagu kebangsaan.

Setiap hari Jumat merupakan hari yang saya hindari. Hari Jumat hanya ada satu pelajaran yang harus kami ikuti sampai jam pulang sekolah. Pelajaran olahraga. Saya tidak suka jika harus lompat - lompat, lari - lari, senam dan jam bebas untuk bermain di lapangan. Para anak laki - laki selalu mendominasi area bermain. Pernah kami anak perempuan bermain "sepur - sepuran" lalu diganggu oleh murid laki - laki hingga salah satu dari murid perempuan menangis. Jika tidak salah ingat, namanya putri, murid perempuan tercantik menurut penilaian saya. Rambutnya lurus, panjang, hitam legam sepinggang.

Saya lebih suka duduk - duduk di halaman masjid ditemani Erna. Saya tahu dia sangat suka bermain - main dan olahraga namun dia lebih memilih menemani saya duduk jika saya sedang tidak mood bermain. Bagaimanapun matanya tak mungkin bisa berbohong. Dia mengawasi teman - teman kami bermain. Matanya berbinar ketika ada permainan yang menarik hatinya. Kemudian saya selalu berpura - pura ingin bermain kejar - kejaran. Kami ikut bermain dengan teman - teman yang lain.

Setiap pulang sekolah, kami selalu bermain bersama. Banyak sekali yang kami mainkan. Anak - anak yang sebaya kami di kampung semuanya laki - laki. Hanya aku dan Erna yang berjenis kelamin perempuan. Kami menikmati bermain bersama anak laki - laki. Kami bermain kelereng, lompat tali, "benteng-bentengan", lempar karet, "engkle", dll. Ketiak badan mulai lelah, aku mengajak dia bermain di rumah saya. Saya punya banyak barbie, alat - alat masak, mobil - mobilan, dll. Kadang - kadang dia juga tdur di rumah saya. Kami tidur siang di depan TV yang menyala menyiarkan acara anak - anak.

Saya ingat saat itu saya bermain ke rumahnya karena orang tua saya belum pulang kerja padahal hari sudah sore. Sampai maghrib pun kedua orang tua saya belum pulang. Saya tahu nenek saya khawatir. Beliau memanggil saya tapi saya tak menghiraukan. Saya sebal karena melihat kedua orang tua Erna selalu ada menemani dia belajar dan nonton TV. Ibunya menggoreng tahu untuk makan malam. Menunya sederhana, hanya nasi, tahu goreng dan kecap. Mereka makan lahap sekali sambil bercanda riang, Saya ingin menangis melihat mereka. Seingat saya, jarang sekali kedua orang tua saya bercanda seperti itu kepada saya. Saya ingin berontak, saya tak perlu menu makan macam - macam. Ayam, daging, telor, ikan laut, bahh... apalah arti semua itu jika orang - orang yang kamu inginkan tak ada. Saya tak menyentuh nasi itu sama sekali. Bukan saya tak mau, tapi saya tak sanggup untuk memakannya.

Tampaknya Erna tahu isi hati saya. Setelah mereka selesai makan, dia ambil nasi dan tahu goreng di piring. Dia duduk disamping saya. Kakinya ditekuk sebelah seperti sedang mengajak cangkruk. Dia kepalkan sedikit nasi di tangan. Dia menipu lambat - lambat nasi itu. Dia mencongkel sedikit tahu goreng. Saya kira dia mau nambah makan lagi. Ternyata dugaan saya salah. Dia sodorkan nasi itu kepada saya. Dia menyuruh saya makan meskipun dia tahu saya tak nafsu makan. Dia bilang kalau saya tak mau makan, dia akan sedih karena saya akan sakit. Dia juga bilang, kalau saya tak mau makan dia tak mau jadi teman saya lagi. Saya menoleh padanya. Mata saya berkaca - kaca. Saya membuka mulut untuk menerima makanan darinya. Dia menyuapi saya semua nasi yang ada di piring itu dengan sabar. Ahh.. saya berasa malu seperti anak bayi yang disuapi.

Begitulah kisah kami berlanjut setiap harinya. Kami seperti saudara saja. Bahkan, orang tua saya sudah menganggap Erna dan keluarganya merupakan bagian dari keluarga kami. Hingga peristiwa itu datang. Dan kehidupan kami tak akan pernah sama lagi..

Malam itu saya dipanggil oleh ibu saya. Tumben sekali ibuk memangku saya. Kami bercengkrama dan bercanda, hangat sekali.. saya suka.. Kemudian, ibuk bilang "Besok Erna dan keluarganya pindah ke Sragen, Jawa Tengah. Mereka kekurangan uang untuk sewa rumah lagi di Surabaya. Mereka akan pindah ke desa mbahnya Erna". GILA !!! bagaimana mungkin dalam waktu kurang dari 24 jam saya akan kehilangan teman saya. Teman perempuan saya satu - satunya di kampung ini. Saya marah, marah sekali. Bagaimana bisa kami akan berpisah tanpa persiapan. Setidaknya perlu ada waktu untuk saling bertukar barang - barang kenangan atau menulis kesan dan pesan di buku diari masing - masing. Ohh tidakkkk.. ini seperti sebuah mimpi buruk.

Saya berlari ke rumah Erna. Disana tampak kedua orang tuanya sudah mem-pack barang - barang mereka. Rumah mereka sudah bersih. Ayah Erna menyuruh saya masuk. Saya diberi es krim yang baru mereka beli untuk Erna. Mereka sengaja membeli 2 untuk diberikan kepada saya juga. Saya dan Erna menangis entah kenapa. Kami saling berpelukan tanpa berkata - kata. Kami tak sempat membeli barang sebagai kenang - kenangan. Dia mengambil buku diarinya dan saya diminta untuk mencoretkan sesuatu disana. Saya menggambar sesuatu, entahlah bagaimana bentuknya yang pasti saya berniat menggambarkan saya dan Erna sebagai dua sahabat. Dia berterima kasih kepada saya karena saya mau menjadi temannya. Saya memang tak pandai berkata - kata dalam keadaan emosional. Saya hanya mengagguk dan diam sambil terisak.

Saya pulang dengan mata sembab. Ibuk saya memeluk dan menidurkan saya. Esok paginya saya ikut mengantarkan Erna dan keluarganya pergi. Kami berpisah di ujung gang. Mereka menaiki angguna ke stasiun. Untuk terakhir kalinya saya berpelukan dengannya. Untuk terakhir kali saya mencium tangan kedua orang tuanya. Kami yang saat itu masih kecil tak pernah tahu alamat tujuan kepindahan mereka. Hanya lambaian tangan mereka yang mengiringi pandangan saya melepas semua hari - hari indah bersama mereka. Entah.. esok atau kapan, semoga kami dipertemukan kembali oleh Sang Kuasa..

2 komentar:

  1. woo so touching sedih bacanya...semoga someday kalian ketemu lagi ya :)

    BalasHapus
  2. Aminnn... Sampai sekarang belum ketemu lagi Moms..

    BalasHapus