Kamis, 12 September 2013

3rd

Aduhhh.. jam 07.10, mati aku.. Hari pertama MOS (masa orientasi siswa) dimulai sejak 40 menit yang lalu. Aku berlari tergesa - gesa memasuki gerbang sekolah. Aisshhh rambut dikepang tidak karuan membuatku kepalaku pusing. Ahhh.. cuek saja mau dimarahi atau dijemur.

Jam 08.45 akhirnya aku diperbolehkan masuk kelas. Ternyata di dalam kelas hanya tersisa 1 bangku di pojok paling belakang. Aku santai saja menuju bangku terakhir di kelas itu. Hatiku berkecamuk marah & kecewa terhadap sekolah pilihan orang tuaku. Aku tak punya teman satupun di sekolah ini karena terletak sangat jauh dari rumahku. Aku merasa benar - benar seorang diri, apalagi hari pertamapun aku tidak diantar orang tuaku.

Aku duduk di bangkuku. Aku menghela napas panjang sambil memutar pandangan mengamati keadaan sekitarku. Aku masih memikirkan seseorang. Dia siswa baru juga. Dia menempati peringkat pertama siswa yang diterima di sekolah ini. Menurutku dia sama saja denganku, bodoh. Kami memperoleh nilai tinggi yang pasti akan diterima di sekolah favorit manapun di kota ini namun hanya memilih memasuki sekolah level menengah. Aku ingin sekali bisa berkenalan dengan orang yang mengalahkan nilaiku. Pasti anak itu kutu buku & membosankan sekali.

"Hei.. ngapain kamu telat ? Diapain aja kamu ? sudah tenang aja, para senior itu kan cuma pura - pura aja" tiba - tiba seorang siswa bangku sebelah nyeletuk di sebelahku.
"Ohh.. aku kejauhan turun angkotnya, baru pertama kali naik angkot. Iya aku santai aja kok menghadapi para senior itu." aku menjawab dengan malas karena sejak awal aku sudah sangat tidak bersemangat masuk sekolah ini.
"Kenalin.. Aku Aris." Dia mulai mengenalkan dirinya.
Aku memandangnya sekilas dan menyambut uluran tangannya. Hmm.. lumayan juga. Ganteng & putih. Tapi, kayaknya tipe - tipe cowok playboy kayak dia pasti sama sekali ga pintar & malas sekolah. Ahh.. cuekin saja.

Aku membolak - balik buku peraturan sekolah dan sama sekali tidak menghiraukan guru di depan kelas yang sedang menjelaskan isi buku tersebut. Tiba - tiba guru tersebut menghentikan penjelasan materi. Beliau memuji seorang siswa dan menyebutkan prestasi - prestasinya. "Siswa yang menduduki peringkat pertama & berprestasi itu adalah Arisandi. Mari maju ke depan kelas" Seru guru itu.

Siswa yang tadi mengajakku berkenalan tiba - tiba berdiri dan tersenyum kepadaku. Dia maju ke depan kelas. "Whadzzz.. cowok gaul itu Arisandi si peringkat pertama ? ga mungkin banget.."protesku dalam hati. Aku memandangnya tak percaya.

____________________________________________________________________

Tahun keduaku di sekolah ini baru saja dimulai. Aku mengambil tempat duduk di belakang dekat dengan teman - teman seperjuanganku. Di saat aku dan teman - temanku asyik bercanda, tiba - tiba ada seorang cowok menaruh tasnya di sebelah tempat dudukku. Aku menoleh ke arahnya. Ahh.. ternyata cowok paling populer di sekolahku. "Ga salah tempat duduk tuh.." batinku.

Dia menyapaku "hei.. ketemu lagi. Apa kabar ?"
"Ohhh kamu Ris, baik.." jawabku singkat

Dan kamipun melewatkan semester pertama kami dalam satu bangku.

Penilaianku tentangnya selama ini salah. Meskipun dia gaul dan populer, dia siswa tercerdas yang pernah ku kenal di sekolah ini. Dia seorang katolik yang taat, penuh perhatian & kepedulian terhadap sesamanya. Banyak orang mengira dia cowok yang ceria & tegar namun di balik senyumannya, dia sosok yang rapuh dan kesepian.

Setiap waktu sholat Jumat tiba, semua siswa laki - laki menunaikan kewajibannya. Begitu juga dengan teman - temanku yang mayoritas adalah anak laki - laki. Aku menunggu di dalam kelas sambil membaca novel yang kupinjam dari perpustakaan. Aris menemaniku dalam diamnya di sebelahku. Raut mukanya berbeda dari kesehariannya. Dia menampakkan wajah kelelahan dan kesedihan yang aku tidak tahu sebabnya. Jika dia sudah sangat jengah dengan kehidupan sekolahnya, dia selalu bersandar di bahuku hingga memejamkan mata menunggu bel masuk berbunyi.

Aku tidak pernah bertanya mengapa & bagaimana. Aku terlalu takut untuk sekedar bertanya apa yang terjadi padanya. Aku terdiam saat dia mulai meletakkan kepalanya di bahuku. Yang bisa aku lakukan hanya mengusap kepalanya dan menutup matanya dengan tanganku. Dia selalu tersenyum simpul. Senyumnya merupakan pemandangan indah bagiku.

Kami melalui hari - hari kami seperti itu saja, tidak lebih tidak kurang. Dalam hal pelajaran, kami bersaing secara sehat tapi tetap saling menguatkan satu sama lain. Di luar pelajaran, kami menjadi seorang sahabat tanpa kata. Kami seakan mampu membaca pikiran satu sama lain dengan tatapan mata & bahasa tubuh. Hingga suatu saat di hari Jumat seperti biasa kami duduk berdua di dalam kelas.

Dia tidak seperti biasanya. Dia menelungkupkan kepalanya di meja, tidak lagi bersandar kepadaku. Aku menutup novelku. Aku memberanikan diri bertanya kepadanya "Ada apa denganmu ?" Aris memandangku dengan mata berkaca - kaca. "Ayahku sakit. Sakitnya yang sekarang bertambah parah. Aku takut ayahku ga akan bisa bertahan." Cerita hidupnya mulai mengalir dari mulutnya. Aku terperangah mendengar kisah perjalanan hidupnya. Tak terasa air mataku menetes di pipiku.

Dia mengambil beberapa bangku dan disusun berjajar. Dia merebahkan tubuhnya di atas bangku - bangku itu. Kutawarkan pahaku sebagai bantalnya. Dia tersenyum menerima tawaranku. Dia meraih tanganku dan meletakkannya di atas matanya. Baru kali ini aku melihat laki - laki serapuh dia. Aku tidak tahu mengapa perasaanku bergejolak bercampur antara sedih, senang, dan khawatir. Aku mengusap kepalanya berharap dia mampu tegar menjalani hidupnya.

____________________________________________________________________

Siang itu hujan rintik - rintik disertai mendung tebal memayungi sekolah kami. Dari pengeras suara sekolah terdengar pengumuman ayah Arisandi meninggal. Seketika itu aku terhenyak, khawatir membayangkan betapa terpukulnya dia. Seisi sekolah heboh dan berbondong - bondong pergi ke rumahnya, termasuk aku.

Di pelataran rumahnya aku dapat melihat ekspresi wajah sedih bernaung padanya. Ahhh ingin sekali aku memeluk dan meredakan kekhawatirannya. Kami yang masih SMA tidak mungkin mampu melakukan itu. Kami hanya bisa menatap dari kejauhan. Kami semua mengikuti prosesi pemakamannya hingga selesai. Ditemani hujan dan mendung, persemayaman terakhir ayahnya ditutup. Pendeta membacakan ayat - ayat dan doa agar ayahnya damai bersamaNya.

Sejak kepergian ayahnya, dia seakan kehilangan gairah dalam hidup. Dia yang sekarang sudah tidak kukenal lagi. Setiap hari aku mencoba membawanya kembali dalam kehidupan nyata yang harus dia jalani demi masa depannya. Teman - teman sekelas kami akhirnya menyadari juga perubahan diri seorang Aris. Mereka dan para gadis sekolahku berlomba - lomba menghadirkan keceriaan dalam diri Aris. Aku bersyukur banyak yang peduli padanya bahkan mungkin lebih peduli dari aku. Aku tak berkeberatan setiap hari menjadi sandaran baginya melepaskan penat dan kesedihannya.

_____________________________________________________________________

Pagi ini dia datang menghampiriku dengan penuh semangat. Aku bahagia sekali melihatnya tertawa riang dengan teman - teman yang lain. Semangatku hari ini melebihi hari kemarin. Di tengah pelajaran, dia mengajakku pergi ke kantin karena lapar. Kami mencuri - curi kesempatan dan mencari alasan agar diperbolehkan keluar kelas. Dia sudah menungguku di samping pintu. Kami berlarian menuju ke kantin sambil cekikikan seperti orang gila saja.

Di kantin kami memesan menu bersambal ekstra pedas. Dia menantangku menghabiskan masakan tersebut. Aku masih ingat alasannya menyuruhku makan menu itu. "Ayo makan. Kalau kamu bisa makan sambal puedesss, kamu ga akan takut sakit hati karena cinta. Kamu akan kuat saat merasa sakit atau patah hati". Kupikir itu lelucon paling tidak masuk akal yang ada di dunia.

Kami menjalani hari - hari seperti dulu. Tidak, lebih baik dari waktu yang telah berlalu. Dia menjadi sosok yang penuh kebahagiaan. Matanya berbinar - binar saat bercerita apapun yang dia alami hari ini atau kemarin. Aku tidak pernah bosan menatap matanya yang tajam namun meneduhkan hati. Kami seperti sebuah kotak yang berisikan helai - helai cerita rahasia. Kami menjadi tempat sampah satu sama lain soal apapun. Kami mampu merasakan satu sama lain meskipun kami tidak sedang berdekatan.

Suatu hari perutku sakit karena menstruasi. Dia mengantarku ke ruang UKS agar bisa beristirahat. Temanku yang berjaga di UKS menanyakan soal hubunganku dengan dia.
"Wahh tambah dekat saja kamu dengannya. Sudah menyatakan cinta belum ?" Wati bertanya sembari memeriksa keadaanku.
"Ahh kau ini.. Kami cuma berteman."Jawabku tersipu
"Masak sih... kayaknya kalian lebih dari teman deh.. Hati - hati, agama kalian berbeda. Jangan sampai kamu patah hati karena perbedaan agama" Wati berlalu meninggalkanku untuk beristirahat.

Aku gelisah, gundah. Mataku terpejam tapi otakku terus memutar kembali rekaman nasehat dari Wati.

______________________________________________________________________

Pagi ini dimulai seperti pagiku biasanya. Aku melangkah dengan santai menuju kelasku. Ketika hampir memasuki kelas aku mendengar suara anak - anak dikelas begitu ramai dan bergemuruh. Aku membuka pintu dan uppss... hampir saja aku berciuman dengan Aris. Kami kaget setengah mati. Kami termenung sejenak hingga aku memutuskan untuk cepat - cepat masuk kelas.

Baru saja aku duduk di tempatku, Idah mendekatiku diam - diam. Dia duduk di sebelahku dan berbisik "Aris nembak Theresia. Diterima." Ohhh tidakk.. seketika itu jantungku mau meledak. Air mataku hampir saja meleleh jika saja Idah tidak menarikku keluar kelas. Aku mengatur pernapasanku. Aku berjalan mondar - mandir agar tidak menangis.

Idah menarikku ke ruang UKS. Dia memberiku air minum agar aku lebih tenang. Pikiran dan perasaanku kacau. Aku bingung. Aku merasa sangat sangat sangat sedih, aku ingin menangis sekencangnya tapi aku tetap tidak bisa mengeluarkan air mata. Dada ini terasa sesak. Aku memejamkan mata, berdoa pada Allah agar Dia menguatkan aku. Saat aku membuka mata, aku masih merasakan kesedihan tapi ada satu tempat jauh di lubuk hati aku merasa lega. Aku tidak tahu mengapa.

Aris mencariku ke sekeliling kelas. Dia bertanya pada anak - anak yang lain tapi tak berhasil. Dia berputar - putar hingga melihat sepatuku di depan UKS. Dia menemuiku. Dia duduk di ranjang UKS tempat aku beristirahat. Terlihat jelas kekhawatiran di wajahnya. Genggaman tangannya membuatku merasa nyaman dan hangat.

"Aku minta maaf padamu. Aku tidak menceritakan hal ini kepadamu sebelumnya. Aku tahu aku salah. Harusnya aku tidak pernah menyembunyikan apapun padamu. Kamu seperti separuh jiwaku." Aris terus menggenggam tanganku erat - erat. Aku bangkit dari tidurku dan duduk berhadapan dengannya di atas ranjang UKS.
"Aku kecewa kamu merahasiakan ini dariku. Aku pikir aku berarti bagimu. Aku menyayangimu dan mungkin lebih dari sekedar temanmu. Tapi, kupikir ini adalah yang terbaik. Kamu menyukai seseorang yang seiman denganmu karena penghalang diantara kita terlalu berat, agama." Aku menghentikan ucapanku, mengatur napas agar aku tetap tenang menghadapinya.
"Aku bahagia menjadi seseorang yang selalu berada di sampingmu baik sedih maupun senang. Aku ingin kita terus menjadi sahabat seperti sedia kala. Jangan pernah berubah. Aku bahagia kamu menemukan semangat hidupmu" Aku menggenggam tanganya dan menatap matanya dalam - dalam.

_______________________________________________________________________

Tahun ketiga kami berada di kelas yang berbeda. Dia sekelas dengan pacarnya. Aku pikir kami akan baik - baik saja seperti sedia kala. Hmmm... sulit rupanya. Tanpa disadari kami mulai menjaga jarak. Kami pun jarang bertemu. Kami hanya saling memandang dari jauh tanpa mengucap kata apapun. Hingga saat - saat terakhir kami di SMA.

Upacara pelepasan siswa berjalan dengan khidmat. Lagu - lagu kebangsaan mengalun merdu diiringi piano klasik milik sekolah. Setelah upacara, kami para murid kelas tiga diberi kebebasan untuk saling mengucapkan kata perpisahan. Tak sengaja aku berhadapan dengan Aris dalam jarak dekat. Lagi - lagi hampir saja kami berciuman. Kami saling memandang mata masing - masing. Dia menggenggam tanganku. Aku menjadi salah tingkah karena agak jauh dari kami ada pacarnya yang sedang memandangi kami. Dia seakan tak peduli. Dia lebih mendekatkan badannya dan berkata
"Maaf selama ini aku membuatmu dalam keadaan yang sulit. Akupun juga begitu. Kita berbeda agama, oleh karena itu tidak ada harapan bagi kita untuk bersatu. Sebentar lagi kita akan melanjutkan hidup kita dan mungkin ga bisa bertemu lagi. Aku ingin kamu tahu kalau selama ini aku menyukai kamu".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar