Aduhhh.. jam 07.10, mati aku.. Hari pertama MOS (masa orientasi
siswa) dimulai sejak 40 menit yang lalu. Aku berlari tergesa - gesa
memasuki gerbang sekolah. Aisshhh rambut dikepang tidak karuan membuatku
kepalaku pusing. Ahhh.. cuek saja mau dimarahi atau dijemur.
Jam
08.45 akhirnya aku diperbolehkan masuk kelas. Ternyata di dalam kelas
hanya tersisa 1 bangku di pojok paling belakang. Aku santai saja menuju
bangku terakhir di kelas itu. Hatiku berkecamuk marah & kecewa
terhadap sekolah pilihan orang tuaku. Aku tak punya teman satupun di
sekolah ini karena terletak sangat jauh dari rumahku. Aku merasa benar -
benar seorang diri, apalagi hari pertamapun aku tidak diantar orang
tuaku.
Aku duduk di bangkuku. Aku menghela napas
panjang sambil memutar pandangan mengamati keadaan sekitarku. Aku masih
memikirkan seseorang. Dia siswa baru juga. Dia menempati peringkat
pertama siswa yang diterima di sekolah ini. Menurutku dia sama saja
denganku, bodoh. Kami memperoleh nilai tinggi yang pasti akan diterima
di sekolah favorit manapun di kota ini namun hanya memilih memasuki
sekolah level menengah. Aku ingin sekali bisa berkenalan dengan orang
yang mengalahkan nilaiku. Pasti anak itu kutu buku & membosankan
sekali.
"Hei.. ngapain kamu telat ? Diapain aja kamu ?
sudah tenang aja, para senior itu kan cuma pura - pura aja" tiba - tiba
seorang siswa bangku sebelah nyeletuk di sebelahku.
"Ohh.. aku
kejauhan turun angkotnya, baru pertama kali naik angkot. Iya aku santai
aja kok menghadapi para senior itu." aku menjawab dengan malas karena
sejak awal aku sudah sangat tidak bersemangat masuk sekolah ini.
"Kenalin.. Aku Aris." Dia mulai mengenalkan dirinya.
Aku
memandangnya sekilas dan menyambut uluran tangannya. Hmm.. lumayan
juga. Ganteng & putih. Tapi, kayaknya tipe - tipe cowok playboy
kayak dia pasti sama sekali ga pintar & malas sekolah. Ahh.. cuekin
saja.
Aku membolak - balik buku peraturan sekolah dan
sama sekali tidak menghiraukan guru di depan kelas yang sedang
menjelaskan isi buku tersebut. Tiba - tiba guru tersebut menghentikan
penjelasan materi. Beliau memuji seorang siswa dan menyebutkan prestasi -
prestasinya. "Siswa yang menduduki peringkat pertama & berprestasi
itu adalah Arisandi. Mari maju ke depan kelas" Seru guru itu.
Siswa
yang tadi mengajakku berkenalan tiba - tiba berdiri dan tersenyum
kepadaku. Dia maju ke depan kelas. "Whadzzz.. cowok gaul itu Arisandi si
peringkat pertama ? ga mungkin banget.."protesku dalam hati. Aku
memandangnya tak percaya.
____________________________________________________________________
Tahun
keduaku di sekolah ini baru saja dimulai. Aku mengambil tempat duduk di
belakang dekat dengan teman - teman seperjuanganku. Di saat aku dan
teman - temanku asyik bercanda, tiba - tiba ada seorang cowok menaruh
tasnya di sebelah tempat dudukku. Aku menoleh ke arahnya. Ahh.. ternyata
cowok paling populer di sekolahku. "Ga salah tempat duduk tuh.."
batinku.
Dia menyapaku "hei.. ketemu lagi. Apa kabar ?"
"Ohhh kamu Ris, baik.." jawabku singkat
Dan kamipun melewatkan semester pertama kami dalam satu bangku.
Penilaianku
tentangnya selama ini salah. Meskipun dia gaul dan populer, dia siswa
tercerdas yang pernah ku kenal di sekolah ini. Dia seorang katolik yang
taat, penuh perhatian & kepedulian terhadap sesamanya. Banyak orang
mengira dia cowok yang ceria & tegar namun di balik senyumannya, dia
sosok yang rapuh dan kesepian.
Setiap waktu sholat
Jumat tiba, semua siswa laki - laki menunaikan kewajibannya. Begitu juga
dengan teman - temanku yang mayoritas adalah anak laki - laki. Aku
menunggu di dalam kelas sambil membaca novel yang kupinjam dari
perpustakaan. Aris menemaniku dalam diamnya di sebelahku. Raut mukanya
berbeda dari kesehariannya. Dia menampakkan wajah kelelahan dan
kesedihan yang aku tidak tahu sebabnya. Jika dia sudah sangat jengah
dengan kehidupan sekolahnya, dia selalu bersandar di bahuku hingga
memejamkan mata menunggu bel masuk berbunyi.
Aku tidak
pernah bertanya mengapa & bagaimana. Aku terlalu takut untuk sekedar
bertanya apa yang terjadi padanya. Aku terdiam saat dia mulai
meletakkan kepalanya di bahuku. Yang bisa aku lakukan hanya mengusap
kepalanya dan menutup matanya dengan tanganku. Dia selalu tersenyum
simpul. Senyumnya merupakan pemandangan indah bagiku.
Kami
melalui hari - hari kami seperti itu saja, tidak lebih tidak kurang.
Dalam hal pelajaran, kami bersaing secara sehat tapi tetap saling
menguatkan satu sama lain. Di luar pelajaran, kami menjadi seorang
sahabat tanpa kata. Kami seakan mampu membaca pikiran satu sama lain
dengan tatapan mata & bahasa tubuh. Hingga suatu saat di hari Jumat
seperti biasa kami duduk berdua di dalam kelas.
Dia
tidak seperti biasanya. Dia menelungkupkan kepalanya di meja, tidak lagi
bersandar kepadaku. Aku menutup novelku. Aku memberanikan diri bertanya
kepadanya "Ada apa denganmu ?" Aris memandangku dengan mata berkaca -
kaca. "Ayahku sakit. Sakitnya yang sekarang bertambah parah. Aku takut
ayahku ga akan bisa bertahan." Cerita hidupnya mulai mengalir dari
mulutnya. Aku terperangah mendengar kisah perjalanan hidupnya. Tak
terasa air mataku menetes di pipiku.
Dia mengambil
beberapa bangku dan disusun berjajar. Dia merebahkan tubuhnya di atas
bangku - bangku itu. Kutawarkan pahaku sebagai bantalnya. Dia tersenyum
menerima tawaranku. Dia meraih tanganku dan meletakkannya di atas
matanya. Baru kali ini aku melihat laki - laki serapuh dia. Aku tidak
tahu mengapa perasaanku bergejolak bercampur antara sedih, senang, dan
khawatir. Aku mengusap kepalanya berharap dia mampu tegar menjalani
hidupnya.
____________________________________________________________________
Siang
itu hujan rintik - rintik disertai mendung tebal memayungi sekolah
kami. Dari pengeras suara sekolah terdengar pengumuman ayah Arisandi
meninggal. Seketika itu aku terhenyak, khawatir membayangkan betapa
terpukulnya dia. Seisi sekolah heboh dan berbondong - bondong pergi ke
rumahnya, termasuk aku.
Di pelataran rumahnya aku dapat
melihat ekspresi wajah sedih bernaung padanya. Ahhh ingin sekali aku
memeluk dan meredakan kekhawatirannya. Kami yang masih SMA tidak mungkin
mampu melakukan itu. Kami hanya bisa menatap dari kejauhan. Kami semua
mengikuti prosesi pemakamannya hingga selesai. Ditemani hujan dan
mendung, persemayaman terakhir ayahnya ditutup. Pendeta membacakan ayat -
ayat dan doa agar ayahnya damai bersamaNya.
Sejak
kepergian ayahnya, dia seakan kehilangan gairah dalam hidup. Dia yang
sekarang sudah tidak kukenal lagi. Setiap hari aku mencoba membawanya
kembali dalam kehidupan nyata yang harus dia jalani demi masa depannya.
Teman - teman sekelas kami akhirnya menyadari juga perubahan diri
seorang Aris. Mereka dan para gadis sekolahku berlomba - lomba
menghadirkan keceriaan dalam diri Aris. Aku bersyukur banyak yang peduli
padanya bahkan mungkin lebih peduli dari aku. Aku tak berkeberatan
setiap hari menjadi sandaran baginya melepaskan penat dan kesedihannya.
_____________________________________________________________________
Pagi
ini dia datang menghampiriku dengan penuh semangat. Aku bahagia sekali
melihatnya tertawa riang dengan teman - teman yang lain. Semangatku hari
ini melebihi hari kemarin. Di tengah pelajaran, dia mengajakku pergi ke
kantin karena lapar. Kami mencuri - curi kesempatan dan mencari alasan
agar diperbolehkan keluar kelas. Dia sudah menungguku di samping pintu.
Kami berlarian menuju ke kantin sambil cekikikan seperti orang gila
saja.
Di kantin kami memesan menu bersambal ekstra
pedas. Dia menantangku menghabiskan masakan tersebut. Aku masih ingat
alasannya menyuruhku makan menu itu. "Ayo makan. Kalau kamu bisa makan
sambal puedesss, kamu ga akan takut sakit hati karena cinta. Kamu akan
kuat saat merasa sakit atau patah hati". Kupikir itu lelucon paling
tidak masuk akal yang ada di dunia.
Kami menjalani hari
- hari seperti dulu. Tidak, lebih baik dari waktu yang telah berlalu.
Dia menjadi sosok yang penuh kebahagiaan. Matanya berbinar - binar saat
bercerita apapun yang dia alami hari ini atau kemarin. Aku tidak pernah
bosan menatap matanya yang tajam namun meneduhkan hati. Kami seperti
sebuah kotak yang berisikan helai - helai cerita rahasia. Kami menjadi
tempat sampah satu sama lain soal apapun. Kami mampu merasakan satu sama
lain meskipun kami tidak sedang berdekatan.
Suatu hari
perutku sakit karena menstruasi. Dia mengantarku ke ruang UKS agar bisa
beristirahat. Temanku yang berjaga di UKS menanyakan soal hubunganku
dengan dia.
"Wahh tambah dekat saja kamu dengannya. Sudah menyatakan cinta belum ?" Wati bertanya sembari memeriksa keadaanku.
"Ahh kau ini.. Kami cuma berteman."Jawabku tersipu
"Masak
sih... kayaknya kalian lebih dari teman deh.. Hati - hati, agama kalian
berbeda. Jangan sampai kamu patah hati karena perbedaan agama" Wati
berlalu meninggalkanku untuk beristirahat.
Aku gelisah, gundah. Mataku terpejam tapi otakku terus memutar kembali rekaman nasehat dari Wati.
______________________________________________________________________
Pagi
ini dimulai seperti pagiku biasanya. Aku melangkah dengan santai menuju
kelasku. Ketika hampir memasuki kelas aku mendengar suara anak - anak
dikelas begitu ramai dan bergemuruh. Aku membuka pintu dan uppss...
hampir saja aku berciuman dengan Aris. Kami kaget setengah mati. Kami
termenung sejenak hingga aku memutuskan untuk cepat - cepat masuk kelas.
Baru
saja aku duduk di tempatku, Idah mendekatiku diam - diam. Dia duduk di
sebelahku dan berbisik "Aris nembak Theresia. Diterima." Ohhh tidakk..
seketika itu jantungku mau meledak. Air mataku hampir saja meleleh jika
saja Idah tidak menarikku keluar kelas. Aku mengatur pernapasanku. Aku
berjalan mondar - mandir agar tidak menangis.
Idah
menarikku ke ruang UKS. Dia memberiku air minum agar aku lebih tenang.
Pikiran dan perasaanku kacau. Aku bingung. Aku merasa sangat sangat
sangat sedih, aku ingin menangis sekencangnya tapi aku tetap tidak bisa
mengeluarkan air mata. Dada ini terasa sesak. Aku memejamkan mata,
berdoa pada Allah agar Dia menguatkan aku. Saat aku membuka mata, aku
masih merasakan kesedihan tapi ada satu tempat jauh di lubuk hati aku
merasa lega. Aku tidak tahu mengapa.
Aris mencariku ke
sekeliling kelas. Dia bertanya pada anak - anak yang lain tapi tak
berhasil. Dia berputar - putar hingga melihat sepatuku di depan UKS. Dia
menemuiku. Dia duduk di ranjang UKS tempat aku beristirahat. Terlihat
jelas kekhawatiran di wajahnya. Genggaman tangannya membuatku merasa
nyaman dan hangat.
"Aku minta maaf padamu. Aku tidak
menceritakan hal ini kepadamu sebelumnya. Aku tahu aku salah. Harusnya
aku tidak pernah menyembunyikan apapun padamu. Kamu seperti separuh
jiwaku." Aris terus menggenggam tanganku erat - erat. Aku bangkit dari
tidurku dan duduk berhadapan dengannya di atas ranjang UKS.
"Aku
kecewa kamu merahasiakan ini dariku. Aku pikir aku berarti bagimu. Aku
menyayangimu dan mungkin lebih dari sekedar temanmu. Tapi, kupikir ini
adalah yang terbaik. Kamu menyukai seseorang yang seiman denganmu karena
penghalang diantara kita terlalu berat, agama." Aku menghentikan
ucapanku, mengatur napas agar aku tetap tenang menghadapinya.
"Aku
bahagia menjadi seseorang yang selalu berada di sampingmu baik sedih
maupun senang. Aku ingin kita terus menjadi sahabat seperti sedia kala.
Jangan pernah berubah. Aku bahagia kamu menemukan semangat hidupmu" Aku
menggenggam tanganya dan menatap matanya dalam - dalam.
_______________________________________________________________________
Tahun
ketiga kami berada di kelas yang berbeda. Dia sekelas dengan pacarnya.
Aku pikir kami akan baik - baik saja seperti sedia kala. Hmmm... sulit
rupanya. Tanpa disadari kami mulai menjaga jarak. Kami pun jarang
bertemu. Kami hanya saling memandang dari jauh tanpa mengucap kata
apapun. Hingga saat - saat terakhir kami di SMA.
Upacara
pelepasan siswa berjalan dengan khidmat. Lagu - lagu kebangsaan
mengalun merdu diiringi piano klasik milik sekolah. Setelah upacara,
kami para murid kelas tiga diberi kebebasan untuk saling mengucapkan
kata perpisahan. Tak sengaja aku berhadapan dengan Aris dalam jarak
dekat. Lagi - lagi hampir saja kami berciuman. Kami saling memandang
mata masing - masing. Dia menggenggam tanganku. Aku menjadi salah
tingkah karena agak jauh dari kami ada pacarnya yang sedang memandangi
kami. Dia seakan tak peduli. Dia lebih mendekatkan badannya dan berkata
"Maaf
selama ini aku membuatmu dalam keadaan yang sulit. Akupun juga begitu.
Kita berbeda agama, oleh karena itu tidak ada harapan bagi kita untuk
bersatu. Sebentar lagi kita akan melanjutkan hidup kita dan mungkin ga
bisa bertemu lagi. Aku ingin kamu tahu kalau selama ini aku menyukai
kamu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar